Sajak-sajak Mengapa: Dinan


sumber gambar: wantwords

Sajak-sajak Mengapa: Dinan

Dinan tidak ingin menikah.

Ketika orang-orang bertanya mengapa, gadis itu tak pernah melontarkan sepatah alasan. Hanya sepasang bibir yang ia kulum menjadi seulas senyuman sendu. Dalam diamnya ia menjawab, melalui air wajahnya ia berbicara. Dengan tatapan berkilat-kilat, seolah berusaha untuk tidak menumpahkan setitik pun air mata.

Orang-orang mengerti kala geming itu selesai bercerita. Mereka tidak lagi bertanya. Mereka tidak lagi membahas. Pembicaraan dengan sangat cepat beralih haluan; tiba-tiba saja membicarakan anak tetangga yang baru menikah atau berkoar-koar kaget perihal suami orang mendapat promosi jabatan. Diam-diam Dinan selalu menghaturkan rasa syukur.

Ah… Warga di kota ini benar-benar pengertian, ya.

Ia memandangi para ibu rumah tangga yang sedang heboh bercakap-cakap di hadapannya. Duduk bergerumul beralaskan permadani rumput sembari menunggu balita mereka—yang baru saja pulang dari taman kanak-kanak—bermain di area permainan. Perempuan muda itu tidak banyak berbicara, hanya menanggapi seperlunya. Apa yang dapat ia kesahkan? Ia sendiri tidak berumah tangga.

“Bu Dinan sudah berapa lama mengajar di TK?” seorang ibu dengan rambut bergelombang yang indah bertanya. Dinan tersenyum—oh, dia memang selalu tersenyum—menanggapinya, “Kira-kira hampir tiga tahun, tetapi di kota ini baru beberapa bulan, Bu Sari.”

Wanita yang berpakaian kantoran menanggapi, “Wah! Umur Bu Dinan berapa?”

“25, Bu Salwa.”

“Muda sekali!” Sari menyuarakan keterkejutannya. Ia kemudian terkikik geli, “Bu Dinan tahu tidak, anak saya naksir dengan Ibu, lho.”

“Oh, Farhan?”

“Iya! Duh, si Farhan, dia bilang kalau dia sudah besar, dia akan menjadikan Bu Dinan sebagai isterinya. Katanya Ibu sangat baik, penyayang, pengertian… duh, baik banget pokoknya. Ya ampun, anak itu masih kecil sudah bisa jatuh cinta pula. Padahal saya saja pertama kali mengenal cinta, ya, saat bertemu dengan ayahnya dulu di kantor. Itu juga ayahnya harus berkali-kali dulu menyatakan cintanya pada saya, barulah saya ngeh. Astaga, lemot sekali saya dengan cinta, ya?” oceh Sari dengan gaya khas ‘ibu-ibu gosip’-nya. Para ibu di sana tertawa, termasuk Dinan yang sedari tadi terpana akan omongan Sari yang tiada putus-putusnya.

“Tapi benar, lho, Bu Dinan,” seorang ibu rumah tangga yang lain, Rima, bersuara, “Kirana—anak saya—juga bilang Bu Dinan ibu guru favoritnya. Dia paling suka saat Bu Dinan bernyanyi. Suara Ibu indah sekali,” pujinya.

“Dita juga memfavoritkan Bu Dinan, lho!”

“Rega juga, nih, Bu!”

“Bu Dinan benar-benar populer, ya, di kalangan anak-anak!”

Dinan, lagi-lagi, tersenyum. Ia memang menyukai kanak-kanak. Oleh karena ketidakinginannya untuk menikah maupun memiliki keturunan, segala rasa sayang kepada mereka ia salurkan melalui tempatnya bekerja kini. Sangat menenangkan rasanya mengajarkan mereka mengeja kata dengan cicitan mereka yang tertatih-tatih, hingga cerucutan pada bibir mungil mereka saat kesulitan berhitung dengan jari terlihat menggemaskan sekali.

Matahari telah meninggi. Beberapa menit sebelum azan zuhur berkumandang, area sekolah telah lengang. Setelah melambaikan tangannya kepada seorang murid yang baru saja dijemput oleh sang ayah, Dinan bergegas menuju kantor dan mengenakan tas selempengannya. Kakinya kemudian melangkah menuju suatu gedung yang tidak jauh dari taman kanak-kanak itu; suatu sekolah dasar negeri.

Sekolah itu ramai dijejali anak-anak berseragam putih-merah yang berkeliaran dengan wajah berseri sekaligus lelah. Di luar pagar sekolah, para orang tua dan kakak-kakak menunggu dengan atau tanpa kendaraan untuk menjemput mereka pulang. Berjalan Dinan melewati lautan manusia itu, menapak menuju sebuah lokasi sunyi favorit seorang anak.

Dinan menemukannya yang sedang bergenderang di atas meja kayu yang dilindungi oleh barisan palem di taman belakang sekolah.

“Hafiz!” begitu Dinan memanggil namanya.

Pemuda cilik itu menoleh ke belakang. Tersenyum sebentar, ia bangkit dari dudukannya, berlari kecil menuju keberadaan seorang wanita muda yang merekahkan sunggingannya bersama dengan tangan yang terulur.

Anak itu meraihnya, membalas genggamannya. Berdampingan, mereka berjalan pulang.

“Bagaimana ujiannya tadi?” Dinan bertanya, membuka percakapan di antara mereka. Berpikir sejenak, Hafiz menjawab, “Bisa, tapi aku tidak isi dua soal, Kak.”

“Berarti selebihnya bisa semua, dong?”

Sebuah anggukan ragu.

Dinan terkikik, “Memangnya tidak mengisi soal yang seperti apa?”

“Hmmm. Aku nggak baca soal terakhir. Satu soal, sih, tentang negara pengimpor beras terbesar di Indonesia. Kakak tau?”

“Thailand, bukan?”

Hafiz tidak menjawab. Kerutan pada keningnya menandakan ia sedang berpikir keras. Melihatnya Dinan tersenyum geli. Ia lalu mengalihkan pembicaraan seputar olahraga kesenangan anak lelaki itu. Hafiz, tentu saja, meresponnya dengan keantusiasan yang cerah, sampai-sampai Dinan sendiri tidak kebagian bicara.

Hingga akhirnya mereka berhenti di depan sebuah restoran mahal—bukannya mengantarkan ke panti asuhan tempat Hafiz tinggal, Dinan pun mengangkat suara, “Perayaan usainya minggu ujian,” untuk menanggapi air wajah Hafiz yang berbalut heran.

Mereka makan dengan porsi seadanya; Dinan yang memang tidak mengonsumsi makanan berlebihan, sedangkan Hafiz yang masih punya rasa segan walau ia sendiri merasa tidak akan kenyang. Di tengah-tengah perbincangan mereka sehabis menyantap hidangan, tiba-tiba Hafiz bertanya, pelan.

“Apakah Kakak masih mencintai Kak Wisnu?”


---

Setiap tahunnya, mulai dari dua tahun yang lalu sebelum hari itu, Hafiz bertanya akan hal yang sama.

Apakah Dinan masih mencintai Wisnu?

Setiap tahunnya, mulai dari dua tahun yang lalu sebelum hari itu, Dinan meresponnya dengan jawaban yang sama; pun dengan mimik wajah dan perasaan yang berselimut kusut.

Hingga kini, lima belas tahun semenjak hari itu, pada tempat yang sama, dengan posisi duduk yang serupa, Hafiz yang telah berumur 25 tahun bertanya lagi kepada Dinan yang sudah menginjak pengakhiran kepala tiga.

“Apakah Kakak masih mencintai Kak Wisnu?”

Sang wanita tersenyum menatap kedua mata Hafiz yang kini berposisi lebih tinggi dari miliknya. Kali ini, dengan tetap hati yang telah mantap sebab waktu yang telah mengizinkan diri untuk memulih, Dinan tidak lagi ragu menjawab.

“Tidak.” Karena dia adalah masa lalu yang harusnya kutinggalkan sejak dahulu.

Mendengarnya Hafiz menghela napas lega.

“Ngomong-ngomong, kita ‘kan tadi membicarakan start-up kamu yang sukses itu. Mengapa tiba-tiba bertanya seperti ini?”

“Tidak ada. Aku hanya ingin memastikan.”

“Memastikan?”

Hafiz terkekeh.

Dinan memicingkan matanya, berpura-pura kesal, “Tidak kusangka, seorang adik yang sering bersamaku dulu malah menertawakan kakaknya yang penasaran.”

“Adik?” Lelaki itu mengernyit, menunjukkan roman wajah yang tampak sedikit berbeda dari pribadinya yang ceria, “Aku bukanlah adikmu, Kak Dinan, maupun anakmu. Aku menolakmu untuk mengadopsiku, ingat?”

Nada darinya terdengar sedikit ketus. Namun, Dinan yang tidak peka akan perubahan itu malah terkikik renyah mengingat Hafiz yang dulu menolaknya mentah-mentah dengan alasan tidak ingin melupakan almarhum kakak laki-lakinya. Wanita kemudian itu berujar lembut, “Walaupun begitu, bagiku, kamu adalah adik dari Wisnu yang secara otomatis menjadi adikku juga.”

“Begitukah?”

Sayangnya, Hafiz mengira respon itu adalah bentuk dari ketidakmampuan Dinan menyingkirkan bayang-bayang Wisnu sebagai mantan kekasih yang telah mengkhianatinya.

“Aku tidak ingat bahwa kalian pernah menikah.”

Dinan yang dahulu mungkin akan berlarut-larut sedih apabila disuguhkan perbincangan semacam ini. Akan tetapi, Dinan yang sekarang sudah sepenuhnya beranjak dari masa lalu. Dinan yang sekarang tidak lagi menolehkan hati dan pikirannya pada kepedihan yang sesungguhnya semu. Jadi, ketika dia menyahut, “Hampir,” terhadap pernyataan Hafiz barusan itu, Dinan sesungguhnya bercanda, tidak ada maksud tertentu. Tidak ada getaran yang menghambat ucapannya bersama dengan genangan berlebih yang membasahi sklera. Tidak ada. Dinan mengucapkannya begitu saja. Pun wajahnya berhias senyuman tanpa rasa getir.

Melihat itu, Hafiz kembali memutar dugaannya, “Ah, ternyata aku salah,” ia bergumam dengan kelegaan yang melebihi sebelumnya.

“Hm?”

“Aku sempat mengira Kakak belum move on sebenar-benarnya. Ternyata aku salah,” lanjut lelaki yang lebih muda itu sembari meniup kepulan asap dari kopi yang dihidangkan pramusaji baru saja.

Dinan tertawa. Dia sendiri merasa takjub dengan rasa perih yang sudah lenyap dari hatinya. “Sulit dipercaya, bukan? Tetapi beginilah adanya. Ternyata waktu benar-benar bisa menyembuhkan,” ujar wanita tersebut.

Hafiz hanya mengangguk kecil, tidak menanggapi. Ia sibuk menyesap cairan gelap favoritnya.

“Jadi, apa maksudmu ‘memastikan’, hm?”

Ucapan Dinan menghentikan Hafiz dari kegiatan meneguknya, malah, hampir membuatnya tersedak.

“Apakah aku sebegitunya mengkhawatirkan sehingga kamu harus memastikannya tiap tahun?”

Hafiz hanya diam, tampak menimbang-nimbang. Matanya tertuju pada cangkirnya sendiri.

“Halo? Hafiz? Aku ini sedang berbicara dengan manusia atau udara, sih?”

“Manusia.”

“Jadi? Mengapa memastikan?”

“Jika—”

“Ya?”

“Jika kukatakan bahwa aku memastikannya agar akhirnya aku bisa mengucapkan sesuatu, bagaimana?”

“Apa itu?”

Hening.

Sejurus kemudian, sebuah bisikan tertangkap oleh sepasang telinga yang tidak siap untuk mendengar dan seonggok jantung yang sama sekali tidak siap untuk berpompa kian cepat, setelah sekian lamanya.


---

Sajak-sajak Mengapa: Mereka

Mereka adalah sepasang kekasih yang telah menjalin hubungan serius selama delapan musim. Mengikat janji, hingga bertunangan. Namun, ketika tanggal pernikahan tinggal menghitung hari, sang lelaki bertemu kembali dengan mantan kekasihnya. Terperangkap dalam keraguan sementara akan komitmen lebih lanjut bersama calon pendamping hidupnya, khilaf diperbuatnya bersama perempuan dari masa lalu. Pernikahan pun dibatalkan, bersamaan dengan tertutupnya hati seorang dara yang setia, lantaran mereka yang bertutur kejujuran.

Selang beberapa dentang jam, kedua pendosa merenggang nyawa di dalam bus yang berjungkir balik badannya.

Sekiranya, itulah yang orang-orang pikirkan; sepasang kekasih yang tidak jadi mengikat yang sebenar-benarnya janji oleh sebab kecelakaan yang menimpa. Ialah kecelakaan lalu lintas, bukan kecelakaan antara laki-laki dan perempuan yang tidak sah.

Sang dara hidup menjinjing aib mereka yang tidak tersampaikan, sekaligus menanggung luka yang sulit dipulihkan. Namun, dia tiadalah dendam. Lelaki itu meninggalkan seorang adik dalam baluran tubuh kanak-kanak. Sang dara turut menemaninya, menganggap adik dari lelaki itu sebagai keluarga.

Bilamana adik tersebut kemudian jatuh hati kepada kerapuhan dan ketegaran hati sang dara. Pun ia mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Hingga setiap dua musim berganti, sang adik bertanya perihal yang sama; apakah sang dara masih mencintai sang lelaki?

Lima belas tahun lamanya, akhirnya, sang dara menjawab tanpa rantai yang membelenggunya dari lama.

Dan sang adik berharap hal lain; bila, bolehlah dia yang nantinya menjadi pria bagi sang dara.


---

Sajak-sajak Mengapa: Kita

“Jadi, itu kah alasanmu yang sebenarnya tidak ingin diadopsi olehku?”

Beberapa hari setelah pengakuan itu, pada suatu malam, di restoran favorit mereka, dengan posisi duduk yang tidak berubah, Dinan melemparkan pertanyaan tersebut kepada pemuda di hadapannya. Hafiz merespon dengan anggukan. Air mukanya menyinarkan kesungguhan.

“Tentu. Aku telah mencintaimu jauh sebelum itu. Dan aku bertekad untuk membahagiakanmu; sebagai seorang wanita, bukan sebagai ibu maupun kakak. Makanya, adopsimu saat itu, tidak kuterima.”

Terhadap jawaban itu, Dinan tidak menanggapi, hanya saja kedua kelereng matanya tidak lagi berpaku pada sepasang milik sang pemuda. Tatapannya melayang pada kejauhan di balik bingkai jendela kaca. Kepada dirinya, ia berbisik bersama lirih,

Bolehkah ia membuka hatinya kini?







Total: 1634 kata.

Dibuat dalam dua jam. Maafkeun bila kurang memuaskan. 

Dan... yak! Setelah bingung mau ngelanjutin kompilasi A Story Next Door dan Hey, Kau, Apa Kabar?, Kirun dengan tidak bertanggung jawab membuat kompilasi baru: Sajak-sajak Mengapa! Kompilasi ini akan berisi cerita-cerita tentang wanita yang tidak ingin menikah dengan alasan dan masa lalu yang berbeda, serta penyelesaiannya. 

Kalau mau lihat tulisan-tulisanku yang lain, ada di sini

Author’s note:
1. Adopsi itu banyak syaratnya. Umur minimal orang tua harus tiga puluh tahun. Jadi, ketika Dinan mencapai umur segitu, Hafiz baru berumur 15 tahun, belum memasuki usia dewasa dan masih bisa diadopsi. Trus, anak yang bersangkutan bisa menolak dirinya untuk diadopsi.
2. Anak panti asuhan bisa kuliah/sukses? Bisa, dan ada.
3. Memangnya ada orang yang semakin mendekati hari pernikahannya ia malah semakin ragu? Ada. Kondisi ini namanya pre-marriage syndrome.
4. CMIIW, hahahaha.

Embun


sumber gambar: tips.purence.com

Telah kutemukan embun di balik tunduknya dedaunan lesu
Pada jendela yang diketuk semilir gulita
Semerbak pendar bermalu-malu mengendap
Sembunyi di atas ilalang basah
Membisik-bisik asa, memperingat akan rendah
Lantas bersenyum cerah mencela

Akui


N.B. Puisi ini (sebentar, ini bisa disebut puisi kah?) sengaja straightforward tanpa diksi yang dipelintir. 


sumber gambarimg.medscape

Salahkah ia, 
bila sebilah belati dihunuskannya, 
hingga tepat mengenai daerah hidup-dan-mati yang bertengger di balik helaian iganya?

Salahkanlah ketajaman benda itu, wahai Sang Pencipta Alam