A Story Next Door: Impian
sumber gambar: ChildrenMinistry(dot)com
|
Aku tidak pernah tau siapa ayahku.
Ketika aku bertanya perihal ayah kepada Ibu, beliau mendengus tidak suka, "Tak sepatutnya pria brengsek seperti dia kautanyakan, Nak."
Semenjak saat itu, aku tak lagi bertanya. Benar kata Ibu, untuk apa pula aku bertanya akan seseorang yang seenak hatinya meninggalkan Ibu yang saat itu sedang hamil muda? Toh, tanpa kehadiran lelaki itu, aku dan saudara-saudaraku tumbuh dengan baik, cukup makan, dan memperoleh kasih sayang yang berlimpah.
Para tetangga sekitar juga tidak ambil peduli bahwa kami dilahirkan tanpa ayah. Di pemukiman kumuh tempat aku dibesarkan ini, kasus seperti itu sudah merajalela sejak dahulu. Sudah biasa. Sudah menjadi tradisi bahkan. Mereka yang dewasa gemar bergonta-ganti pasangan. Bila wanitanya hamil, sang lelaki menghilang begitu saja, meninggalkan mantan wanitanya yang terseok-seok membesarkan anaknya seorang diri.
Sebagai laki-laki aku merasa malu. Malu sekali. Bukankah laki-laki berkewajiban melindungi perempuan? Mengapa di sini mereka malah berlaku sebaliknya? Mengapa mereka mencampakkan makhluk lemah lembut itu seolah sampah tak berharga? Padahal, para perempuan di daerah ini tidak buruk. Malah, jauh dari kata merepotkan. Mereka mandiri dan penuh cinta kasih. Lihat saja ibuku, beliau sangat cekatan, mampu mengasuh kami berenam sembari mengais rezeki di tengah carut-marut kehidupan. Beliau penyabar. Juga cantik. Sangat.
Mengapa perempuan hebat seperti itu bisa-bisanya disia-siakan?
Ah. Hingga menginjak dewasa pun aku masih belum paham jalan pikiran laki-laki di daerah ini. Tetapi ya sudah. Yang jelas, aku bertekad untuk tidak menjadi seperti mereka. Aku tak ingin menjadi brengsek seperti laki-laki yang seharusnya kupanggil 'ayah', bukan 'Si Brengsek'. Oh, kalian tidak perlu bertanya seberapa besar kebencianku terhadap ayahk—Si Brengsek itu. Tak terukur. Dan jangan cap aku durhaka. Salahkan dia yang telah meninggalkan wanita yang paling kusayang.
Setiap harinya, setelah bangun dari lelap, saat pergi bekerja, hingga merebahkan diri untuk tidur; selalu kutanamkan hal ini; bahwa aku tak akan menjadi pria brengsek seperti dia dan mereka. Titik.
Sore itu, selesai melalang buana mencari rezeki, aku melihat Ibu bersama dengan sesosok pria di depan gubuk kami. Mereka bertengkar, terlihat jelas dari ekspresi geram si lelaki dan wajah berderai sedih yang dibingkai Ibu. Oh, aku tau laki-laki itu. Desas-desus tetangga dia adalah kekasih baru ibuku. Masa bodoh! Aku tak percaya. Dia pastilah Si Brengsek Nomor Dua dan, lihat, aku terbukti benar. Kekasih macam apa yang membuat sosok yang dikasihinya terisak dengan darah yang mengalir dari ubun-ubun? Tak ada. Siapapun yang membuat Ibu menderita sudah selayaknya memperoleh bogem mentah dariku.
Dan lihatlah! Si Brengsek Nomor Dua itu terbirit-birit kabur hanya karena satu hajaranku yang membuat perutnya sobek sedikit. Pengecut sekali.
Perhatianku kemudian beralih, kepada sosok tersayang yang kini membelalakkan matanya yang merah. Aku berniat memeluk beliau, menenangkannya, namun sesuatu membuatku tak percaya.
Ibu mencakarku. Meneriakiku. Mengataiku tidak waras. Menyalahkanku.
Beliau membela laki-laki brengsek itu.
Aku berkedip. Ada yang sakit. Tetapi bukan pipiku.
Sesuatu dalam dadaku bergemuruh. Kencang sekali. Perih.
Mengapa Ibu membelanya? Bukankah dia telah menyakitimu, Bu? Mengapa Ibu mencaciku? Bukankah selama ini aku selalu mematuhi setiap perkataan Ibu? Bukankah selama ini aku yang membuat Ibu tertawa? Bukankah selama ini aku berbakti untuk meringankan beban di punggung Ibu? Bukankah selama ini aku lah yang selalu berada di sisi Ibu, kala senang maupun susah?
Aku tak habis pikir. Mataku memerah. Ada cairan yang melesak dari kelopak.
Mengapa melirik yang lain jika ada seseorang di dekatmu yang selalu bersedia melakukan apapun untukmu, Bu?
Aku tak habis pikir. Napasku memburu. Marah. Sakit hati. Kecewa.
Mengapa Ibu selalu jatuh hati pada pria-pria brengsek?
Aku tak habis pikir. Kini, pikiranku benar-benar kalut.
Tak bisakah kau melihatku, hah?
Amarah dan kecemburuan menguasaiku. Aku benar-benar tak habis pikir.
.
Aku bangkit dari rebahan. Di sampingku, tangisan Ibu semakin menyendu. Mataku mengernyit, berbagai pertanyaan muncul dalam benak.
Apa yang terjadi?
Sudah malam, aku melihat sekelilingku, aku melihat Ibu. Berantakan dan tidak biasa. Heran, aku kembali menerawang, kemudian tersentak.
Hening. Kesadaran telah melingkupiku sepenuhnya. Kilasan-kilasan memori beberapa jam yang lalu muncul bersamaan, menamparku pada realita terburuk yang tak akan pernah bisa membuat hidupku damai seperti dulu.
.
Aku telah meniduri ibu kandungku sendiri.
.
Aku pernah bilang bukan? Bahwa aku tak akan menjadi pria brengsek seperti dia—ayahku—dan mereka—para laki-laki di daerah ini.
Tentu saja tidak.
Karena aku jauh lebih brengsek daripada itu.
Hei, impianku telah menjadi kenyataan. Dalam skenario terburuk.
.
Maafkan aku, Bu. Aku gagal menjadi anak kucing yang baik.
0 komentar: