Hei, Kau, Apa Kabar?: Dua
Pagi ini rintik air membuncah lebat dari atas langit. Sembari berjalan aku melebarkan payung, beruntung mendengarkan laporan cuaca terlebih dahulu sebelum beranjak pergi dari flat. Aroma rerumputan basah menyapa indera penciumanku, membimbing benakku kepada hal-hal rileks yang sejenak melupakanku dari kuis mekanika fluida dua jam lagi.
Selama kumenikmati hawa pagi, kelereng gelapku menangkap sosokmu yang sedang berlindung di bawah rerimbunan klorofil. Ragu-ragu kumemanggil namamu. Kau menoleh cepat, tersenyum lebar mendapatiku yang menawarkanmu sepayung berdua—oh, kau jelas tidak tau bahwa aku harus bersusah payah menormalkan genderang dari dalam dada ini terlebih dahulu sebelum menawarimu tumpangan. Kau lalu melompat masuk, mengambil alih pegangan gagang dariku, “Aku kan gentleman,” dalihmu, membuatku menyengir—malu-malu, namun kau tak mungkin tau.
Kita berjalan berdua, di bawah naungan payung yang sama. Langkahmu menyesuaikan, tidak terlalu cepat karena aku sendiri tidak memiliki langkah kaki yang panjang. Sesekali, secara tidak sengaja, bahuku menabrak lenganmu. Kurasakan ada sengatan listrik yang menjalar hingga hampir membuat jantungku vakum berdetak. Aneh sekali. Padahal kita sudah biasa dengan sentuhan-sentuhan kecil ala pertemanan, tapi entah mengapa olehku kini terasa berbeda.
Apa yang salah denganku sekarang?
Kau berkeluh mengenai paper yang membuatmu bergadang hingga pagi. Aku manggut-manggut. Pantas saja cekungan matamu sedikit menghitam. Kemudian kau mencelotehkan banyak hal; tentang anjingmu yang semakin gemuk, tentang teman seasramamu yang kerap menggodamu bermain MMORPG di tengah deadline tugas, tentang apapun yang kaulakukan kemarin. Aku berkomentar sekedarnya, kadang tertawa, selebihnya hanya mendengarkan. Tidak sepenuhnya mendengarkan sebetulnya karena kebanyakan waktu aku sibuk dengan pikiranku sendiri; bagaimana membuat rima jantung ini normal seperti biasa?.
Hari itu berjalan layaknya hari biasa. Kita berpisah sesampainya di koridor fakultas. Kuisku? Syukurlah dapat kukerjakan dengan baik walau tujuh puluh persen selang waktu kuis itu kuhabiskan untuk memikirkanmu seorang. Sorenya, kita, bersama teman-teman lainnya, singgah ke kedai roti. Kau membeli pretzel beserta kopi susu dan aku puas terhadap intuisiku yang lagi-lagi benar. Malamnya, aku membenamkan teriakanku ke dalam bantal.
Jadi, uhm, apa kabarmu, Ishikawa-kun? Jika kau bertanya mengenai kabarku, aku merasa luar biasa beruntung hari ini. Sepayung berdua denganmu adalah hal yang tak pernah kusangka-sangka sebelumnya.
Tertanda,
Ringo Kawashima, yang telah percaya bahwa hujan benar-benar membawa berkah.
0 komentar: