Kau, Kejutan, dan Fatamorgana

11:40:00 PM Kirun 0 Comments


N.B. Ini cerpen yang kubuat pada tanggal 20 November 2014. Yap, udah lama sekali, tapi lupa ku-publish. Dan, yap, ini kisah nyata yang ditulis menjadi fiksi. Tapi kalau sekarang yah... aku udah benar-benar move on sih, jadinya pas baca ini lagi (sekarang) malah ngakak sendiri. Tulisan ini nggak ada yang kuubah dari dua tahun yang lalu. Selamat menikmati~

sumber gambarwww.africangamesafari.com

Malam yang amat dingin di musim penghujan.

Napas lelah yang kukeluarkan mengepul merayapi hawa dingin yang menusuk tulang. Aku mengusap wajah letihku, berharap kantuk yang kurasakan menghilang secepatnya. Masih jam sembilan lewat dan masih ada beberapa rangkaian acara yang harus dilalui.

Ah, malam masih panjang, Kawan.

Merapatkan jaket tebal yang kukenakan, kuputuskan untuk beristirahat sejenak setelah sejam berdiri tegak dalam barikade melaksanakan peran yang kuperoleh. Kedua kakiku membawaku keluar dari barisan, berjalan menuju kerumunan panitia yang sedang tidak bertugas. Mereka bercakap-cakap dan aku menyerobot masuk, mengikuti alur percakapan.

Sesekali aku bicara, sesekali aku mendengarkan, dan banyaknya aku tertawa.

Dan saat giliranku berbicara untuk yang ketiga kalinya, aku membisu seketika. Kalimatku terpotong oleh geming yang kuciptakan. Kegemingan yang tercipta kala sepasang iris gelapku bersitubrukan dengan keberadaan pemuda yang tak pernah kusangka-sangka sebelumnya.

Dia… datang…?

“Kaneshiro-senpai, kau baik-baik saja?” suara berat Kazuto membuyarkan keterkejutanku. Aku tergelak kaku, tak hanya terhadap pertanyaan adik kelasku itu, melainkan juga terhadap tatapan heran teman-teman obrolanku lainnya.

“Hai, hai, aku baik-baik saja,” ujarku sembari mengibaskan telapak tangan, “Hanya teringat sesuatu yang harus kukerjakan,” dengan air wajah serius yang dibuat-buat, aku beranjak pergi dari rombongan itu. Aku berjalan pelan, dengan mata yang siaga layaknya mengintai musuh, mencari-cari keberadaan sosok itu.

Apakah dia benar-benar datang? Ataukah, astaga, Kami-sama, jangan-jangan aku berhalusinasi karena sangat berharap akan kedatangannya?

Kemudian aku tertegun.

Dia di sana. Berdiri tegak bersama konco terdekatnya. Dengan lengan yang menyilang di bawah dada. Dengan mata kelamnya yang setajam elang. Dia di sana. Mengobrol, lebih banyak mendengarkan, kemudian terkekeh. Sayup-sayup, namun hanya suaranya sajalah yang dapat kudengar di tengah-tengah teriakan komandan lapangan. Suara beratnya yang khas, yang sulit kudefinisikan bagaimana suara itu dapat menggetarkan sesuatu yang berada di dalam dadaku. Dan seringaiannya! Astaga, manis sekali.

Kutampar diriku secara mental. Astaga, Atsuko no Baka! Jangan terlalu lama menatap orang itu! Aku menggeleng keras, berusaha menenangkan detak jantung yang menggila. Hanya dari kekehannya, hanya dari seringaiannya, belum apa-apa dia sudah membuatku gila.

Setelah sedikit tenang, aku mencoba untuk menatapnya lagi. Dan entah karena angin apa, masih dengan seringaiannya, lelaki itu menoleh tiba-tiba ke arahku. Secepat kilat kualihkan pandanganku ke arah lain, pura-pura memerhatikan panitia logistik yang sedang mempersiapkan sesuatu.

Astaga, jantungku.

“Hei, Atsuko! Aku tadi melihat—hyaa!”

Yue Aragaki, teman baikku, datang di saat yang tepat. Sebelum perempuan itu menyelesaikan kalimatnya, aku menerjangnya dengan pelukan erat. Ia membalas pelukanku sambil terkikik jahil, “Aku baru saja ingin mengabarimu tentang dia, tapi sepertinya kau duluan tahu, ya,” godanya pelan. Ah, ia mengerti, tentu saja.

“Astaga, Yue! Jangan membuat aku semakin gila!” umpatku lirih. Yue hanya tertawa. Tangannya menepuk-nepuk punggungku pelan, berniat menenangkan. Aku masih memeluknya erat, menyembunyikan wajah merahku di balik punggungnya.

Astaga, keberadaan lelaki itu benar-benar tidak baik untuk kesehatan jantungku. Lihatlah, sudah bermenit-menit tapi degupan jantungku masih sama cepatnya.

Kami-sama... Mungkin aku butuh obat penenang.

.

.

.

Sejam berlalu dan acara masih berlanjut.

Para anggota swasta hampir selesai dengan bagian mereka.

Aku belum juga move-on.

Jantungku memang sudah berfungsi secara normal, namun seringaian manisnya masih tercetak jelas dalam benakku. Astaga, padahal aku sudah tidak lagi memerhatikannya. Sungguh! Tapi entah mengapa sosok lelaki itu kerap saja mengitari pikiranku.

Sebuah geraman kecil kemudian kulontarkan, merasa kesal sekaligus senang dengan sensasi aneh yang menjalar dari dalam dada. Lelah berdebat dengan hati sendiri, kusandarkan punggungku pada tembok kayu yang berdiri tegak di pojok lapangan. Kelopak mataku memejam. Kucoba untuk meresapi hawa sejuk lingkungan ini. Mungkin bisa menenangkanku dari segala kegilaan. Menenangkan pikiranku dari dirinya.

Dan saat ketenangan itu mulai menghampiri, sebuah sapaan ringan menjungkir balikkan tatanan hatiku.

“Lama nggak jumpa, Kaneshiro!”

Mataku terbelalak lebar, diikuti oleh pompaan jantung yang semakin cepat.

Dia di sini. Di hadapanku. Dengan jarak yang terlampau dekat. Dengan seringaian lebarnya yang khas. Dengan tatapan elangnya yang memandangiku tanpa ragu. Kedua tangannya diangkat, menunggu balasan high-five dariku. Namun, aku hanya termangu.

Ah… Dia dengan keramahannya dan aku dengan kegugupanku.

Sepersekian detik kuhabiskan untuk menampar pikiranku balik ke permukaan. Astaga, jantungku. Kuangkat kepalaku, membalas tatapannya walau ingin sekali kualihkan pandangan ini dari dirinya. Seolah kegugupan itu tiada, aku menerbitkan sebuah cengiran lebar, “Ne, kau siapa?” tanyaku sambil—berusaha terlihat—bercanda.

Kami-sama. Pandai sekali aku membalikkan keadaan.

Ia terkekeh, berpura-pura terluka atas penolakanku. Lalu dengan santainya ia menyandarkan punggungnya pada tembok tepat di sebelahku. Melihatnya aku hanya dapat menahan napas.

ASTAGA! MIMPI APA AKU SEMALAM?!

“O-oh, ya, Nakamura-kun…” astaga, aku merutuki kegagapanku. Dia menoleh, mengerling ke arahku dengan tatapan ada-apa-?. Tenggorokanku terasa kering, “Aku kaget, lho, ternyata kau datang. Kukira enggak,” lanjutku pelan—berusaha untuk tidak lagi tergagap. Lagi-lagi ia terkekeh.

“Biar jadi kejutan.”

Dan lagi-lagi aku terpana.

Oh, dan dari kejauhan, aku tahu seseorang tengah menatapku jahil. Akito Tachibana, salah seorang teman yang juga mengetahui rahasiaku selain Yue, berteriak pada Kazuto yang saat itu sedang memegang kamera, “Oi, Satonaka-kun! Atsuko belum ada difoto dari tadi.” Kazuto yang mendengar hal itu berbalik ke arahku sambil menyiagakan kameranya. Dan lelaki di sampingku ini, Morihiko Nakamura, menegakkan tubuhnya; entah ingin menghindar atau malah berniat ikut berfoto bersamaku—entahlah, aku tidak ingin geer. Panik, aku menggeleng kuat-kuat, “Eh, aku nggak suka difoto!” sahutku merajuk.

Memang benar, kok, aku tidak suka difoto! Ini bukan karena si Morihiko itu! Ini bukan karena aku terlampau malu!

Aku beranjak dari sandaranku. Menghindar. Dari kamera Kazuto dan dari dirinya. Aku berlari, bukan karena terlalu malu, melainkan mengejar Akito yang kabur setelah merusak momenku.

.

.

.

Sejam berlalu dan acara masih berlanjut.

Para calon anggota telah digiring menuju tempat persinggahan. Kepala divisi kaderisasi berceloteh di depan semua panitia, memberikan briefing singkat.

Aku belum juga move-on.

Tapi sudah lumayan puas setelah bertubi-tubi memukuli Akito dengan senter kepunyaan entah siapa.

“Hei, aku hanya ingin membantu!” gelaknya tanpa bersalah di antara pukulan-pukulan yang kulayangkan. Aku mencibir. Kesal.

Enak saja membantu!

.

.

.

Sejam berlalu dan acara masih berlanjut.

Para calon anggota sedang terlelap di dalam kamar. Panitia-panitia lain beristirahat.

Aku belum juga move-on.

Malah semakin gelisah. Sedari satu jam yang lalu, aku tidak lagi menemukan lelaki itu di mana-mana.

Apa mungkin dia pulang? Ah, masa? Tengah malam begini? Atau jangan-jangan—

Aku menghela napas lelah. Rembulan yang menggantung malam itu kutatapi dengan kekecewaan.

.

.

.

Sejam berlalu dan acara masih berlanjut.

Ketua organisasi berteriak lantang, berorasi pada para calon anggota yang dibangunkan secara paksa. Juga, panitia dan massa lain turut meramaikan suasana.

Aku belum juga move-on.

Sembari berteriak seperlunya memberikan semangat, mataku dengan liar menerobos setiap inci dari lapangan.

Kami-sama, dia masih tak dapat kutemukan.

.

.

.

Sejam berla—ah, sepertinya aku telah melewatkan beberapa jam dengan tidur.

Matahari terbit dan acara telah usai.

Aku masih belum juga move-on.

Dan dia—entahlah. Mungkin sudah pergi? Atau mungkin memang tidak pernah datang? Jika memang benar begitu, mengapa sisa-sisa kehangatan dalam hatiku terasa begitu nyata?

.

.

.

“Nakamura? Dia sudah pulang subuh tadi.”

“O-oh…”

.

.

.

Di antara gelak tawa anggota-anggota baru yang baru saja dilantik subuh tadi, aku tercenung seorang diri.

.

.

.

“Kau selalu begitu, datang tiba-tiba bagai kejutan, lalu menghilang begitu saja seolah kedatanganmu itu hanyalah fatamorgana.”

.

.

.

Jumlah kata: 1221 kata

*dibuat h+4 pelantikan ca-UKMR 2014. Dibuat di tengah pusing-pusingnya ngerjain laprak arsikom. Rushing sejam-dua jam, jadinya maaf diksinya berantakan dan pembawaannya terlalu cepat. Oh, anyway, selamat telah menjadi massa UKMR ITB, wahai angkatan 2014! Makin kompak dan ditunggu kontribusi serta komitmennya :3 Dan untuk dirimu, wahai Morihiko Nakamura, kau menyebalkan karena telah membuat Atsuko Kaneshiro menjadi lebay seperti itu.

You Might Also Like

0 komentar: