A Story Next Door: Lama
sumber gambar: pixshark.com
|
"Ada apa?" aku bertanya ketika seorang karibku menghampiriku di teras belakang.
Yang bersangkutan mengulum bibir, tampak menimbang-nimbang.
Sepertinya akan lama, pikirku. Sembari mempersilakannya duduk dan aku membereskan perkakas, perhatianku tak sekalipun luput darinya. Jelas dia tengah gelisah, aku tau, dari perangainya mengaitkan kedua jari telunjuknya—sebuah kebiasaannya yang belum juga berubah sejak dulu. Setelah mencuci tangan, aku mengambil posisi di hadapannya.
"Jadi, ada apa?" tanyaku sekali lagi. Sambil meminum coke dingin aku menunggu responnya.
Lama.
Kemudian pandangannya menyipit manis, bersamaan dengan gelengan kepala dan garis bibirnya yang melengkung ke atas, ia menjawab, "Tidak apa."
Aku tidak berkomentar apapun, juga tidak menunjukkan sedikitpun reaksi. Masih meneguk coke-ku dengan tenang. Masih menunggu.
Lama sekali.
Ini sudah biasa. Dia pasti akan bicara dengan sendirinya—
"Se-sebenarnya..."
—tuh kan? Aku tak perlu buang-buang tenaga untuk membujuknya berbicara. Dia memang seperti itu, sejak dahulu, selalu saja lama mengumpulkan keberanian untuk mengobrol dari hati-ke-hati.
"Yaa?" kadang, mesti sudah terbiasa dengan tingkah lakunya ini, rasa sabarku sulit berkompromi. Mau tak mau aku mengangkat alis, sedikit mengeruhkan air wajah, menuntut kelanjutan.
Gadis itu menghela napas. Matanya bergerak liar ke sana ke mari, menunduk, menghindari tatapanku. Tadinya aku ingin memaksanya angkat suara. Namun, setelah melihat buliran-buliran air menetes ke telapak tangannya, aku tau aku harus diam.
Oh, aku tau mengapa.
Tetapi sayangnya, sifat tak sabaranku ini berteman sangat baik dengan mulutku yang blak-blakan.
"Anak itu balikan dengan mantannya?"
Bagus, kini aku membuat bahunya bergetar. Terkadang, ingin kumenyiram kerongkonganku dengan air raksa dan mencabik-cabik nuraniku yang sukar sekali peka terhadap perasaan orang lain, bahkan sahabatku sendiri.
"Oi, sorry, aku—"
"Tak apa. Aku bodoh, sih," potongnya sesegukan. Ia menengadahkan wajahnya yang berbasuh air mata, menatapku dengan kerlingan sayu yang menyedihkan. Kembali senyumnya merekah, namun tak sedikitpun mencurahkan kebahagiaan.
Senyumnya memendarkan kepasrahan, merekah oleh keterpaksaan. Dari sana, ia mulai bercerita panjang lebar.
Lama.
Aku mendengarkannya dengan seksama. Tentang lelaki yang memikat hatinya. Tentang lelaki yang mendebarkan dadanya pada setiap perhatian-perhatian kecil yang lelaki itu lakukan. Tentang lelaki yang membuatnya melayang akan harapan-harapan yang lelaki itu beri. Tentang lelaki yang begitu sempurna sosoknya di matanya. Tentang lelaki yang dikabarkan belum sembuh dari masa lalunya, namun sang gadis menepisnya karena cintanya yang menulikan.
Aku berdecak.
Lihat, kini lelaki itu meninggalkannya begitu saja; lebih memilih bertahan dengan masa lalunya daripada berhalu ke tempat yang (mungkin) jauh lebih baik.
"Sudahlah," ujarku berusaha menenangkan, tanpa sadar telah beranjak dan membenamkan kepalanya di dadaku. Ia berhenti sesegukan, menggantinya dengan tangisan frustasi yang begitu menyayat hati.
Lama, lama sekali dia begitu.
Kalian yang memiliki sahabat pasti bisa merasakan persis apa yang sahabat kalian rasakan, bukan? Bila mereka senang, kalian senang. Saat mereka sedih, kalian juga ikut bersedih. Aku pun juga.
Namun, yang kurasakan berbeda. Aku memang bersedih, turut mencicipi pahitnya sakit hati. Sayang, asalnya bukan karena empati, melainkan cemburu.
Karena lama, lama sekali, bahkan semenjak kami berdua masih menghisap jari, aku telah jatuh hati padanya. Hingga saat ini.
Dan ketika kuutarakan hal itu padanya, tangisannya terhenti. Matanya yang merah dan masih berbekas membelalak lebar. Menyorotku tak percaya.
Aku diam, ia pun begitu. Terlalu lama kami sibuk dalam pikiran kami masing-masing.
Sampai akhirnya aku memecah keheningan itu dengan tawa. Berkilah dengan kalimat, "Tentu saja bercanda, Bodoh!" diikuti oleh kebohongan yang lain, "Agar kau berhenti bersedih. Nah, kau bahkan terkekeh sekarang!"
Ia mencubit pinggangku, geram. Memang belum sepenuhnya kesedihan itu hilang, tetapi setidaknya sunggingan yang ia beri tidak tampak terpaksa seperti tadi.
Sembari berkoar menraktirnya makan sore ini, hatiku meringis. Ah, luka itu lagi, tidak pernah tidak bertambah semakin hari. Tetapi tak mengapa. Karena, toh, aku sudah lama begini.
0 komentar: