A Story Next Door: Limun di Musim Panas

10:33:00 AM Kirun 0 Comments


sumber gambarwww.corepoweryoga.com

Pertama kali aku berkenalan dengannya ialah saat penerimaan mahasiswa baru.

Pagi itu alarm ponselku mati dan aku terbangun sejam setelah acara dimulai. Tanpa mandi dan berpakaian seadanya dengan kemeja yang tidak terkancing rapi, kukayuhkan pedal sepedaku tergesa-gesa menuju kampus. Di sana lah aku bertemu dengannya, berdiri di depan pintu masuk aula besar, tampak ragu-ragu memasuki ruangan.

“Kau terlambat juga?” aku menyeletuk dari belakang. Ia yang awalnya kaget, kini berbinar mendapati kehadiranku.

“I-iya. Kau mau masuk, kan? Syukurlah aku punya teman terlambat,” ujarnya lega. Aku mengangguk kecil, lalu bersama-sama kami memasuki aula dan duduk di bangku belakang. Sembari mendengarkan ceramah dari rektor, kami bercakap-cakap; basa-basi berkenalan.

Ia berasal dari kota yang berseberangan pulau dengan kotaku, namun tidak begitu jauh. Berbeda denganku yang berpenampilan urak-urakan saat itu, ia modis dan elegan. Wajah cerahnya dibingkai oleh surai cokelat lurus sebahu yang diikat ke belakang. Matanya mengesankan minuman limun di musim panas; kuning cemerlang dan menyegarkan untuk dipandang. Ketika bibirnya mengulum senyum, lesung pipit terbit di kedua pipinya.

Kuakui, dia manis, sangat.

Tetapi ketertarikan itu kempis begitu saja setelah kuketahui jurusan yang ia masuki; seni lukis. Bukannya tidak suka dengan hal-hal yang berbau kesenian, hanya saja gedung jurusan itu sangat jauh dari gedung jurusanku, teknik informatika. Dengan ribuan mahasiswa yang berseliwiran di kampus ini, kecil kemungkinan kami akan bertemu kembali. Lagipula, aku bukanlah tipe lelaki agresif yang berani meminta nomor ponsel seseorang yang baru kukenal dan mengajaknya bertemu lain kali. Aku juga bukan seseorang yang percaya dengan “cinta pada pandangan pertama.”

Jadi, kubiarkan saja hari itu mengalir tanpa membuat kesan yang berarti kepadanya.

Sebulan berlalu. Tak kusangka, takdir mempertemukan kami kembali melalui klub koran kampus. Aku dan dia ditempatkan pada divisi yang sama. Tak jarang pula kami kebagian tugas mewawancarai orang yang sama. Membuat artikel terkadang juga bersama; aku yang menulis naskah dan dia sebagai ilustrator. Di sela-sela pekerjaan itu, saling berbagi cerita dan melempar canda bukanlah hal yang asing lagi.

Ia adalah pribadi yang supel dengan keceriaan yang selalu menular. Ketika kau berbicara dengannya, setiap topik tidak pernah membosankan. Seperti limun di musim panas, kehadirannya begitu menyegarkan suasana.

Perlahan, ketertarikan yang telah lama terkubur itu muncul kembali. Kuberanikan diriku untuk mengambil yang langkah baru; mengajaknya jalan di akhir pekan, berdua. Ia menanggapiku dengan positif, yang tentu saja membuatku melonjak kegirangan.

Memasuki setahun partnership kami, kedekatan ini mengubah status pertemanan kami menjadi sahabat. Dia adalah pendengar dan pemberi saran yang baik. Setiap suasana hatiku memburuk karena masalah akademis maupun kesibukan klub, dia dan nasihat-nasihatnya ialah obat yang mujarab. Rekahan senyumannya adalah penenang yang dapat meluapkan amarahku menjadi kedamaian. Selayaknya limun di musim panas, dia mengubah kecutnya rasa asam menjadi kemanisan yang adiktif, mengubah sengatan panas menjadi kelegaan yang luar biasa.

Tiga tahun berlalu dan wisuda sudah di depan mata. Karena tidak ingin terus memendam perasaan yang kini menguat, aku menyatakan cintaku kepadanya. Responnya sangat manis; wajah yang memerah dengan anggukan malu yang samar-samar. Aku memeluknya gemas dan kami resmi menjadi sepasang kekasih.

Kami diwisuda bersamaan. Beruntungnya, juga mendapatkan pekerjaan di kota yang sama. Menyewa sebuah apartemen, kami pun tinggal bersama. Hari-hariku terasa lengkap, selaras dengan hatiku yang semakin hari semakin mencintainya.

“Setiap musim panas, aku selalu melihatmu meminum limun, setiap hari. Kau benar-benar suka limun, ya?”

Suatu hari di musim panas, ketika kuteguk segelas limun sepulang kerja, dia bertanya dengan rasa penasaran yang kentara sekali terlihat dari raut wajahnya. Aku hanya mengekeh sebagai jawaban.

“Kau tidak takut cepat mati karena diabetes kalau kebanyakan minum limun?”

“Tidak masalah. Aku rela mati demi limunku.”

“Dasar freak.”

Aku tertawa. Dia lalu mengambil dua gelas limun; satu untukku dan satu untuknya, “Gara-gara kau, aku jadi ketagihan limun.”

“Bagaimana bisa limun menyukai limun?”

“Hah?”

Kukibaskan tanganku, tertawa.

Hingga di tahun kelima kebersamaan kami, kami pun menikah. Sesuatu yang sangat kami nanti-nantikan, sebagai pengikat suci cinta kami selamanya.

“Apakah Saudara bersedia menerima Reynold Kohler sebagai pasangan hidupnya dalam pernikahan suci seumur hidup Saudara? Apakah Saudara bersedia mengasihinya, mengasuh dan merawatnya, menghormati dan memeliharanya dalam keadaan susah dan senang, dalam keadaan sakit dan sehat, dan setia kepadanya selama Saudara berdua hidup?”

“Ya, saya bersedia.”

“Apakah Saudara bersedia menerima Kevin Matthew sebagai pasangan hidupnya dalam pernikahan suci seumur hidup Saudara? Apakah Saudara bersedia mengasihinya, mengasuh dan merawatnya, menghormati dan memeliharanya dalam keadaan susah dan senang, dalam keadaan sakit dan sehat, dan setia kepadanya selama Saudara berdua hidup?”

“Ya, saya bersedia.”



*Total: 714 kata.

**Entah kenapa terinspirasi bikin ini pas LPJ UKMR, mungkin karena lelah jadi notulis hahaha. Pulang-pulang langsung buka laptop lagi, ngetik. Maaf kalau ceritanya ini menyinggung, aku nggak bermaksud sama sekali, tapi ini demi keberlangsungan cerita. But if you do some research, there are priests who gave blessings to gay marriage. Aku nggak mendukung cinta sesama jenis sih, ini cuma cerita saja. 

You Might Also Like

0 komentar: